Di halaman sekolah, sebatang pohon tumbuh, bercecabang
impian, berdaun bintang-bintang. Di setiap senin pagi, ketika berupacara
bendera, anak-anak memandang pohon itu sambil menyanyikan lagu
Indonesia raya.
Indonesia raya
merdeka!merdeka!
Tanahku negeriku yang
kucinta
Indonesia raya
merdeka!merdeka!
Hiduplah Indonesia
raya!
Ada anak yang menyanyikan lagu itu seperti tak merdeka. Dari kepalanya berhamburan
impian-impian seperti gelembung udara yang terbang, dan kemudian pecah di udara
terbuka. Di dalam kelas Bapak Guru selalu berkata kepada mereka, “Ayo tanamlah
olehmu Pohon Masa Depan!”
Ibu Guru selalu bilang “Ayolah tanam pohon kemerdekaan. Biar
bercecabang jadi cerita di halaman masa depan, biar suatu saat kau bias
bersandar di keteduhan dan kekukuhan cabang-cabangnya, biar suatu saat kau
lihat burung-burung dan kupu-kupu membikin rumah dalam cinta dan bahagiamu.”
“Pohon apa, Bu?”
“Pohon Masa Depan.”
“Pohon Masa Depan?”
“Ya Pohon Masa Depan. Pohon Kemerdekaan”
Aneh, mereka belum pernah dengar nama pohon itu. Lalu mereka
cari nama itu di dalam buku, di dalam kamus, di dalam
perpustakaan-perpustakaan. Tetapi mereka tak pernah menemukan pohon itu.
“Bu Guru, Pak Guru! Seluruh buku telah kubaca, seluruh perpustakaan
telah kudatangi, tetapi kami tak menemukan nama pohon itu.”
Lalu Pak Guru dan Bu Guru memandang mereka seperti gugusan
hujan, seperti memandang bukit-bukit nun jauh di desa-desa.
“Carilah terus! Sampai kau temukan pohon itu, maka
belajarlah dan siapkanlah bagaimana caranya mengolah tanah, bagaimana caranya
mencintai kehidupan.”
Anak-anak itu pun akhirnya kembali memasuki perpustakaan- perpustakaan.
Mereka buka lagi buku-buku dengan melihat bab-bab dan rumus-rumus ilmu
pengetahuan. Demikianlah setiap hari mereka baca halaman masa depan. Mereka
mulai menuliskannya dan menghafalkan huruf-huruf baru. Lalu mereka saksikan
ilmu pengetahuan tumbuh bercecabang dari satu buku ke buku lain, dari satu
pohon ke pohon yang lain. Bunga-bunga mekar dalam tatapan matahari.
Bermetamorfosa dan berfotosintesis dalam pikiran mereka. Kupu-kupu dan
burung-burung hinggap membikin sarang di dalam hati mereka. Pohon-pohon muda
tumbuh menjalin masa depan dengan kesuburan humus yang mereka ciptakan.
Setiap hari, di sekolah, mereka jadi pemimpi yang
mengharapkan pohonnya masing-masing. Di antara mereka ada yang bertanam
pohon-pohon kecil, pohon-pohon besar, berbuah dan tak berbuah. Ada juga yang
suka pada bunga. Ada juga lelaki malas yang hanya menanam pohon dengan berharap
pada cuaca. Ada perempuan genit yang hanya menyukai bunga dan berharap suatu
hari jadi artis.
“Aku ingin menanam pohon yang dari cabang-cabangnya
berjatuhan tetesan getah!” kata seseorang.
“Aku ingin menanam pohon yang
dari daun-daunnya menguap bau surga!”
“Aku ingin menanam pohon yang
tangkai-tangkainya dipenuhi buah.”
“Ah, kalau aku sih suka bunga.
Jadi kutanam saja bunga, biar dunia ini tetap cantik.”
“Aku ingin…”
“Sudahlah, Ayo tanam olehmu pohon apa saja!”
Mereka olah tanah bumi sambil bernyanyi:
Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita
Mereka olah tanah bumi dengan gembira:
Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita
Mereka olah tanah bumi dengan berharap panen di suatu saat:
Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam pohon di kebun kita
Lalu mereka siapkan doa, mereka siapkan gembur tanah dan
aliran air, udara dan cuaca.
Di awal musim, tangkai-tangkai daun tumbuh di dalam pikiran
mereka. Bunga-bunga mekar. Di halaman-halaman buku yang mereka baca, mereka
selalu temukan satu bunga dan satu daun. Dan pada malam hari, ketika mereka
buka halaman-halaman baru, mereka lihat bunga-bunga tumbuh dan hidup pada
setiap kalimat dan paragraph. Jadi ladang dan kebun yang luas.
Bertahun-tahun mereka tanam pohon itu dalam hati dan pikiran
mereka. Di kelas yang sunyi dan gaduh, di kelas yang bersih dan kotor. Lalu
kita lihat mereka menjadi penanam dan penumbuh yang baik.
Suatu hari, di dalam kelas seorang anak berkata, “Pak Guru,
Bu Guru! Saya ingin menciptakan pohon baru. Pohon yang tidak dipunyai oleh
siapapun!”
Ibu dan Bapak Guru itu menjawab “Ciptalah pohon itu! Ayo
lakukanlah!”
Tetapi di antara Bapak dan Ibu Guru itu ada yang menjawab,
“Jangan! Kau hanya boleh menanam pohon sesuai dengan petunjuk buku.”
“Kenapa?”
“Ya, harus begitu!”
Tetapi anak itu memiliki impian yang keras kepala. Malam
selalu membawanya pada luas langit dan hamparan bumi di negeri-negeri jauh.
Dalam mimpinya itu ia lihat pohon-pohon yang tak pernah dilihat. Ia temukan
bunga-bunga yang tak pernah ditemukan di negerinya sendiri.
“Pak Guru, Bu Guru! Aku ingin menciptakan pohon baru!”
“Tidak boleh! Kamu jangan menjadi pembangkang!”
“Tetapi aku hanya ingin pohon yang ada dalam mimpiku!”
“Tidak boleh! Kamu hanya boleh menanam pohon yang benihnya
telah kami siapkan.”
“Tetapi, aku ingin…”
“Heh! Pembangkang!”
Guru itu kemudian menggebrak meja. “Aku telah tiga puluh dua tahun mengajar,
kamu mau jadi jagoan? Mau merasa sok pintar? Keluar kamu! Keluar!”
Anak itu pun keluar.
Bertahun-tahun, anak yang menginginkan pohon itu menjadi
pemurung. Ia merindukan pohon impiannya. Ia merasa bahwa dirinya bersama
seluruh pohon impiannya tak pernah tumbuh. Tak pernah diberi kesempatan untuk
mekar dan berbuah. Ketika ia ditanya apa cita-citanya; ia kemudian mejawab, “Aku
ingin menjadi demonstran!”
Ketika keluar sekolah, dan ia tak melihat pohon impiannya,
ia tebas semua hutan yang bias ditebas, ia bakar seluruh pohon yang bias
dibakar. Ia hancurkan apa saja yang bias dihancurkan. Di kota-kota ia tumbuhkan
api dan mencipta kerusuhan. Ia runtuhkan gedung dengan lemparan batu dan mesiu.
Ia kenang pohon impiannya yang hilang. Ia kenang kesuburan tanah dan hijau daun
dalam hatinya. Dan dalam pohon pohon tumbang, dalam reruntuhan kota ia tulis
sebuah graffiti:
“AKU KINI MEMIMPIKAN
POHON YANG TUMBUH DARI API!”
BY: YUSUF GIGAN, Forum Sastra Cianjur
0 komentar:
Posting Komentar